Kamis, 02 Juni 2016

Thaharah dan Pembagiannya


Ternyata masih banyak orang di kalangan kaum muslimin yang belum memahami pentingnya thaharah (bersuci). Seolah thaharah hanyalah bagian dari kurikulum pelajaran Agama Islam di sekolah, atau dalam bab Fiqih Ibadah, tapi dalam prakteknya, masih banyak yang belum mengaplikasikannya dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah.
Apa itu thaharah? Dan apa saja pembagian thaharah?
Dalam bab ini insya Allah akan saya ulas sedikit tentang pengertian thaharah dan pembagiannya. Semoga bermanfaat.
مفهوم الطهارة
الطهارة لغة : النظافة، و التخلص من الأقذار ومن النجاسات.
الطهارة شرعاً : إزالة حكم الحدث، لأداء الصلاة أو غيرها مما تشترط فيه الطهارة بالماء أو بالبديل عنه وهو التيمم

Pengertian thaharah
Thaharah secara bahasa berarti bersih dan membebaskan diri dari kotoran dan najis. Sedangkan pengertian thaharah secara istilah (syara’) adalah menghilangkan hukum hadats untuk menunaikan shalat atau (ibadah) yang selainnya yang disyaratkan di dalamnya untuk bersuci dengan air atau pengganti air, yaitu tayammum.
Jadi, pengertian thaharah atau bersuci adalah mengangkat kotoran dan najis yang dapat mencegah sahnya shalat, baik najis atau kotoran yang menempel di badan, maupun yang ada pada pakaian, atau tempat ibadah seorang muslim.

Pembagian thaharah
Thaharah itu terbagi menjadi dua :
1. Thaharah ma’nawiyah atau thaharah qalbu (hati), yaitu bersuci dari syirik dan maksiat dengan cara bertauhid dan beramal sholeh, dan thaharah ini lebih penting dan lebih utama daripada thaharah badan. Karena thaharah badan tidak mungkin akan terlaksana apabila terdapat syirik. Dalilnya adalah sebagai berikut :
 إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS. At-Taubah : 28)

أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْي وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمُ

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan didunia dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maaidah: 41)
Maka wajib bagi seorang muslim yang berakal untuk mensucikan dirinya dari syirik dan keraguan dengan cara ikhlas, bertauhid, dan yakin. Dan juga wajib atasnya untuk mensucikan diri dan hatinya dari kotoran-kotoran maksiat, dengki, benci, dendam, penipuan, kesombongan, ‘ujub, riya‘, dan sum’ah.
2. Thaharah hissiyah atau thaharah badan, yaitu mensucikan diri dari hadats dan najis, dan ini adalah bagian dari iman yang kedua. Allah mensyariatkan thaharah badan ini dengan wudhu dan mandi, atau pengganti keduanya yaitu tayammum (bersuci dengan debu). Penghilangan najis dan kotoran ini meliputi pembersihan pakaian, badan, dan juga tempat shalat. Dalilnya adalah sebagai berikut :
 الطهور شطر الإيمان

 “Sesungguhnya kebersihan itu sebagian dari iman”

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
 
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah (usaplah) kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari kamu kembali dari tempat buang air (wc/kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmAt-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maaidah: 6)
Sedangkan menurut Imam Ibnu Rusyd, thaharah itu terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Thaharah dari hadats, yaitu membersihkan diri dari hadats kecil (sesuatu yang diminta -bersucinya dengan- wudhu) dan dari hadats besar (sesuatu yang diminta -bersucinya dengan – mandi).
2. Thaharah dari khubts atau najis, yaitu membersihkan diri, pakaian, dan tempat ibadah dari sesuatu yang najis dengan air.

Video Tata Cara Berwudhu





Makalah Insan Kamil




MAKALAH INSAN KAMIL
MATA KULIAH :
ILMU AKHLAK

  

            KELOMPOK 12 :
1.     Dila Julian
2.     Robiatul Aekah
3.     Siti Amalia Islami
4.     Sulastri
5.     Zihad Alfi Syuhada

FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2015







BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Secara garis besarnya kegiatan ini di awali dengan tela’ah konsep ajaran akhlaq yang memuat materi pokok tentang Pembentukan Akhlaq Al-Karimah, baik yang termuat dalam kitab suci Al-Qur’an maupun dalam Hadits. Lebih lanjut konsep ini akan memberikan gambaran menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara pencipta, manusia dan lingkungannya dalam konteks pembentukan insan kamil (yang berfklaq al-karimah) sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Disini tergambar kejelasan mengenai hubungan dan keterkaitan manusia yang berkahlaq al-karimah dengan nilai-nilai Ilahiyat dalam bersikap dan bertingkah laku, dilihat dari sudut pandang pendidikan Islam. Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Akan tetapi dari sekian banyak perintah itu sayangnya "sebagian besar" hanya tertuju kepada mengikuti contoh perilaku fisik Rasulullah, sehingga begitu banyaknya kita lihat manusia dengan "atribut fisik" mirip Rasulullah. Tampilan fisik kita bukan saja mirip dalam segi pakaian dan ciri ketubuhan lainnya, akan tetapi juga mirip dalam ritual dan gerakan-gerakan bahkan bacaan-bacaan dalam ibadah beliau.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.      Pengertian insan kamil & moral menurut islam
2.      Bagaimana Ciri-ciri Insan kamil.
3.      Bagaimana Proses pembentukan Insan kamil.
4.      Bagaimana penerapan moral menurut islam untuk membentuk insan kamil

C.    Tujuan
Agar pelajar khususnya mahasiswa dapat mengerti pentingnya memahami moral menurut islam dan insan kamil, mengetahui Ciri-ciri Insan kamil, memahami Proses pembentukan Insan kamil, memahami penerapan moral menurut islam untuk membentuk insan kamil.















BAB II
PEMBAHASAN

A.       PENGERTIAN INSAN KAMIL
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata: Insan dan Kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna.  Menurut Dr. H. Abuddin Nata, M.A. dalam bukunya Akhlak Tasawuf mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya.[1]
Di dalam Al-Quran telah dijumpaidan dibedakandengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin.yang kedua, berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal darikata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas.  Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran. Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah. Sedangkan kata insan jika dilihat dari aslnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak, mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara, jinak.
Dilihat dari sudut kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjukkan pada suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Selain itu sebagai insan manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup an lingkungan yang ada. Manusia mempunyai kemampuan adptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan, etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudi, ia tidak liar, baik secara sosial maupun secara alamiah.
Selanjutnya kata insan dalam al-Qur’an di sebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, dan di gunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Musa Asy,ari menyebutkan lapangan kegiatan insan dalam 6 bidang. Pertama untuk menyatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari tuhan tentang apa yag di ketahuinya (Q.S.96:1-5) kedua, manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan.(Q.S.12:5) ketiga, manusia memikul amanat dari tuhan.(Q.S.33:72) keempat, manusia harus menggunakan waktu dengan baik (Q.S 105:1-3) kelima, manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah di kerjakannya.(Q.S 53:39) keenam, manusia mempunya keterikatan dengan moral atau sopan santun (Q.S 29:8).
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut manusia di gunakan al-Qur’an untuk menunjukkan makhluk yang dapat belajar, mempunyai musuh (setan), dapat menggunakan waktu, dapat memikul amanat, punya keterkaitan dengan moral, dapat berternak (Q.S 28:23), menguasai lautan (Q.S 2:124), dapat mengelolah biji besi dan logam (Q.S 57:25), melakukan perubahan sosial (Q.S 3:140), memimpin (Q.S 2:124), menguasai ruang angkasa (Q.S 55:33), beribadah (Q.S 2:21), akan di hidupkan di akhirat (Q.S 17:71).
Semua kegiatan yang di sebutkan al-Qur’an di atas, di kaitkan dengan pengguanaan kata insan di dalamnya, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan yang di sadari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkret, yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang di timbulkannya. Berdasarkan keterangan tersebut istiah insan ternyata menunjukkan kepada makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual. Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersaebut itulah yang di sebut insan kamil. Kata insan lebih mengaacu kepada manusia yang dapat melakukan berbabagai kegiatan yang bersifat moral, intelektua, sosial dan rohaniah dan unsur insaniyah inilah yang selanjutnya di sebut sebagai makhluk yang memiliki instuisi, sifat lahut, dan sifat ini pula yag dapat baqa dan bersatu secara rohaniyah dengan Tuhan dalam Tasawuf, sebagai mana telah di uraikan di atas.
Selanjutnya al-Nas digunakan al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan.
Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa islam dengan sumber ajarannya al-Qur’an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan menyeluh. Seluruh sisi dan aspek dari keidupan manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan barang kali tidak ada kitab lain didunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain itu al-Qur’an. Apa yang dikemukakan al-Qur’an ini jelas sangat membantu untuk menjelaskan konsep insan kamil.
Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya bersifat batin, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyanya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu.
Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan berubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insan kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS As-Syuro: 88-89
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَإِلَّا مَنْ أَتَى الَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ 


(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih, 



Ayat tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah yang menyatakan:

ان الله لا ينظر الي صوركم ولا الي اجسا مكم واموالكم ولكن ينظر الي قلوبكم واعمالكم
Sesungguhnya Allah SWT. tidak akan melihat pada rupa, tubuh dan harta kamu, tetapi Allah melihat pada hati dan perbuatan kamu.(HR. thabrani).”

Ayat dan hadist tersebut di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan manusia adalah batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik. Orang yang demikian itulah yang dapat disebut sebagai insan kamil. Pada ayat lain di dalam al-Qur’an banyak dijumpai bahwa yang kelak akan dipanggil masuk surga adalah jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).

B.     Ciri - ciri Insan Kamil
Menurut Murthadho Muttari manusia sempurna (Insan Kamil) yakni mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan.
Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60, disebutkan agar orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan menguasai keterampilan yang diperlukan dalam mencari rezeki untuk kehidupan.
2.      Cerdas serta pandai.
Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam surah az-Zumar : 9 disebutkan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
3.      Ruhani yang berkualitas tinggi.
Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah, atau kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang  bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.[2]
Sifat – sifatnya manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaban, Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan, Persepakatan dalam hidup, Perpaduan umah.
Untuk cara-cara mencapainya ialah dengan:
Istigfar kepada allah SWT, Ikhlas, Sabar, Cermat,Optimis, Syukur
Adapun beberapa ciri – ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :[3]
a.       Sifat amanah (dapat dipercaya)
Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan seseorang kepadanya. Baik itu sesuatu yang berharga maupun sesuatu yang kita anggap kurang berharga.
b.      Sifat fathanah (cerdas)
Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih baik.
c.       Sifat siddiq (jujur)
Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam kehidupan sehari – hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
d.      Sifat Tabligh (menyampaikan)
Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar dan sesuai dengan kenyataan.
Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang dikemukakan para ulama yang ke ilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Berfungsi Akalnya Secara Optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil. Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut.[4]
2.      Berfungsi Intuisinya
Insan kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu hampir merupai malaikat dan mendekati kesempurnaan.
3.      Mampu Menciptakan Budaya
Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupan nya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap vervagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
4.      Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan
Manusia memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat rendah yang lain. Sebagai khalifah Allah dimuka bumi ia melaksanakan amanat dengan melaksanakan perintah-Nya.
5.      Berakhlak Mulia
Sejalan dengan ciri keempat diatas, insan kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas.
6.      Berjiwa Seimbang
Perlunya seimbang dalam kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
Uraian di atas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insan kamil secara keseluruhan. Tetapi ciri-ciri itu saja jika diamalkan secara konsisten dipastikan akan mewujudkan insan kamil dimaksud. Seluruh ciri tersebut menunjukkan bahwa insan kamil lebih menunjukkan pada manusia yang segenap potensi intelektual, intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya berfungsi dengan baik. Jika demikian halnya, maka upaya mewujudkan insan kamil perlu diarahkan melalui pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah, pengalaman tasawuf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya.
C.     Proses Pembentukan Insan Kamil
Proses atau tahapan pembentukan insan kamil dibedakan menjadi beberapa bagian antara lain :
1.      Proses Pembentukan Kepribadian.
Dapat dipahami bahwa insan kamil merupakan manusia yang mempunyai kepribadian muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas dari keseluruhan tingkah laku baik yang ditampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti kata-kata, berjalan, makan, minum, berhadapan dengan teman, tamu, orang tua, guru, teman sejawat, anak famili dan lain-lainnya.
Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak dengki dan sikap terpuji lainnya yang timbul dari dorongan batin, yakni terwujudnya perilaku mulia sesuai dengan tuntunan Allah SWT, yang dalam istilah lain disebut akhlak mulia yang ditempuh melalui proses pendidikan Islam. Sabda Rasululah SAW yang artinya: “sesungguhnya aku diutus adalah untuk membetuk akhlak mulia” Dalam kaitan dengan hal itu dalam satu hadits beliau pernah bersabda : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”.
2.      Pembentukan Kepribadian Muslim.
Kepribadian muslim dapat dilihat dari kepribadian orang perorang (individu) dan kepribadian dalam kelompok masyarakat (ummah). Kepribadian individu meliputi ciri khas seseorang dalam sikap dan tingkahlaku, serta kemampuan intelektual yang dimilikinya.
a.         Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Individu
Proses pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dapat dilakukan melalui tiga macam pendidikan.
1.      Pranata Education (Tarbiyah Golb Al-Wiladah)
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara tidak langsung. Proses ini dimula disaat pemilihan calon suami atau istri dari kalangan yang baik dan berakhlak. Sabda Rasulullah SAW : “ Pilihlah tempat yang sesuai untuk benih (mani) mu karena keturunan. Kemudian dilanjutkan dengan sikap prilaku orang tua yang islam”. [5]
2.      Education by Another (Tarbiyah Ma’aghoirih).
Proses pendidikan ini dilakukan secara langsung oleh orang lain (orang tua di rumah tangga, guru di sekolah dan pemimpin di dalam masyarakat dan para ulama). Manusia sewaktu dilahirkan tidak mengetahui sesuatu tentang apa yang ada dalam dirinya dan diluar dirinya. Firman Allah SWT yang artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui apapun dan Ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati ” ( Q.S. An-Nahl : 78 )
3.       Self Education (Tarbiyah Al-Nafs)
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan orang lain seperti membaca buku-buku, majalah, Koran dan sebagainya melalui penelitian untuk menemukan hakikat segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Muzayyin, Self Education timbul karena dorongan dari naluri kemanusiaan yang ingin mengetahui. Ia merupakan kecenderungan anugrah Tuhan. Dalam ajaran islam yang menyebabkan dorongan tersebut adalah hidayah. Firman Allah SWT yang artinya : “Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap makhluk bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk” (QS. Thoha:50)
b.      Pembentukan Kepribadian Muslim sebagai Ummah.
Komunitas muslim ini disebut ummah. Abdullah al-Darraz membagi kajian pembentukan itu menjadi empat tahap, sebagaimana dikutip sebagai berikut :
1.      Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga
Bentuk penerapannya adalah: dengan cara melaksanakan pendidikan akhlak di lingkungan rumah tangga, langkah-langkah yang di tempuh adalah:
·         Memberikan bimbingan berbuat baik kepada kedua orang tua
·          Memelihara anak dengan kasih sayang
·         Memberikan tuntunan akhlak kepada anggota keluarga
·         Membiasakan untuk menghargai peraturan dalam rumah tangga
·         Membiasakan untuk memenuhi hak dan kewajiban antara kerabat
2.      Pembentukan nilai-nilai islam dalam hubunga social
Kegiatan pembentukan hubungan sosial mencangkup sebagai berikut:
·         Melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji dan tercela
·          Mempererat hubungan kerjasama
·          Menggalakkan perbuatan terpuji dan memberi manfaat dalam kehidupan bermasyarakat seperti memaafkan, dan menepati janji
·         Membina hubungan menurut tata tertib seperti berlaku sopan, meminta izin masuk rumah orang lain.
·         Perbuatan nilai-nilai islam dalam berkehidupan sosial bertujuan untuk menjaga dan memelihara keharmonisan hubungan antar sesama anggota masyarakat.
D.    Peranan moral menurut islam dalam Pembentukan Insan Kamil
Penerapan akhlaq/moral menurut pandangan islam dalam pembentukan insane kamil dalam kehidupan sehari – hari bukanlah perkara mudah, karena dari segi arti saja moral menuruk panadangan islam adalah ahlak yang baik dan  insan kamil yaitu manusia yang sempurna. Sedangkan manusia sendiri, seperti yang telah kita ketahui tak ada yang terlahir dengan sempurna. Manusia adalah tempat segala kesalahan dan kekhilafan berasal. Namun kesempurnaan yang dimaksudkan di sini bukanlah kesempurnaan dalam arti tak pernah melakukan kesalahan sama sekali. Tak ada manusia yang tak pernah melakukan kesalahan, itu kodrat. Karena itulah telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu cara untuk mencapai moral islam dalam pembentukan  insan kamil adalah dengan bertaubat dengan syarat – syaratnya dan bertaubat hanya dilakukan oleh orang yang merasa melakukan kesalahan. Meskipun begitu, seseorang yang ingin mencapai tingkatan insan kamil harus tetap menjaga segala tingkah lakunya, agar jangan sampai keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu, seorang insan kamil juga harus menjaga diri dari kesalahan – kesalahan yang mungkin dianggap kecil dalam kehidupan sehari – hari, seperti tergesa – gesa dan tidak cermat. Melahirkan insan yang kamil bukanlah semudah memberi pendidikan secara formal dari kecil sehingga dewasa.
Tanggung jawab dari dalam diri insan itu sendiri. Kesadaran ini bukan saja merangkumi aspek kecintaan terhadap negara, bangsa dan agama malah menyeluruh meliputi keinsafan dan kesedaran tentang tanggungjawab setiap manusia sesama manusia dan kepada Penciptanya. Oleh hal yang demikian itu, pembelajaran dan pendidikan sepanjang hayat harus terwujud dalam setiap diri manusia. Di zaman sekarang ini sangat sulit bagi kita untuk dapat meihat atau menemukan seseorang yang menerapkan insan kamil di dalam kehidupannya, seperti yang kita tahu insan kamil merupakan perwujudan dari sifat – sifat dan perbuatan nabi Muhammad SAW yang sangat sempurna yang tidak semua orang dapat melakukannya.










BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa moral menurut pandangan islam yang dalam membentuk insan kamil merupakan suatu manusia yang mempunyai kepribadian seorang muslim yang diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas keseluruhan tingkah laku baik yang diampilkan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinya. Insan kamil sendiri merupakan suatu sosok manusia yang mempunyai kepribadian muslim yang sempurna. Insan berarti menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada totalitas, bukan berarti fisiknya namun dari segi sifatnya. Sedangkan kata yang berarti sempurna, hal ini digunakan untuk menunjukkan pada zat dan sifat.
Dalam hal ini kepribadian muslim merupakan suatu yang lebih abstrak atau suatu yang terlihat lagi dari pada kedewasaan rohaniah. Dan dijelaskan pula tentang konsep moral menurut islam, ciri-ciri Insan kamil, proses pembentukan Insan kamil, penerapan moral menurut islam untuk membentuk insan kamil, hanya ditujukan supaya manusia bisa belajar akan penting prilaku yang baik dan bisa membentuk kepribadian yang lebih baik













DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, 2002. Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada
Muthari Murtalha,  Manusia Sempurna, 2003, Jakarta,  Lentera
Syukur, M. Amin, dan Usman, Fathimah. Insan Kamil. 2005. Semarang : CV. Bima Sejati.
Supiana dan Karman, M. Materi PendidikanAgamaIslam.2009.Bandung : PT. Remaja Rosda Karya



[1] Dr.H.Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002), hal. 257
[2] Muthari Murtalha,  Manusia Sempurna, ( Lentera, Jakarta, 2003 ), Hal. 23.
[3] Syukur Amin M. dan Usman Fathimah , Insan Kamil (Paket Pelatihan Seni Menata Hati (SMH) LEMBKOTA/Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf), ( CV. Bima Sejati, Semarang, 2005 ), Hal. 71
[4] Dr.H.Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2002), hal. 263

[5] Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2009), Hal.70